Total Tayangan Halaman

Kamis, 28 Mei 2015

Karena Pendidikan Tak Pandang Usia

Saya tergelitik untuk menulis sebaris dua baris catatan terkait judul diatas berdasarkan pengalaman saya pribadi. Usia saya sudah mencapai kepala 3. Suamipun demikian. Disaat kami sudah mencapai usia pertengahan usia Nabi kami, justru kami sedang semangat2nya menimba ilmu. Suami dengan pascasarjana pertaniaannya dan saya dengan pascasarjana teknik sipil. Walaupun terpisah pulau karena duami melanjutkan di UNHAS Makassar dan saya du UGM Jogja, namun kami dengan semangat mencoba mengasah pikiran kami yang sudah mulai berkarat.

Awal masuk di kampus saya sekarang, awalnya saya mengira akan bertemu dengan kawan2 seusia saya. Seperti halnya suami saya yang rata2 bertemu dengan kawan seusia bahkan tak jarang berusia diatas suami saya. Tapi ternyata semua teman-teman saya berusia jauh lebih muda dari saya dengan rentang usia mulai 6 sampai dengan 10 tahun. Karena saya ragu dapat beradaptasi dengan mereka, maka saya mencoba ikut memalsukan usia ketika ditanya. Saya hanya menjawab angkatan 2008. Dan anehnya mereka percaya, mungkin karna wajah saya yang imut dan bodi saya yang mungil *uhuk.

Terbongkarnya penyamaran saya tak lebih dan tak kurang karena kesalahan saya sendiri. Dimana saat perkenalan dengan dosen, dosen tersebut bercerita bahwa ada dulu ada Dosen dari UGM yang pernah menjabat menjadi Dekan fakultas Teknik di UNRAM NTB asal pendidikan sarjana saya. Saya lalu spontan menjawab ya, karena memang dahulu saya sempat bertemu beliau saat pertama masuk kuliah S1. Sang dosen terkejut, lalu bertanya angkatan berapa? Sebab bila angkatan baru tidak mungkin bertemu karena  bapak Dekan tersebut berhenti menjabat di UNRAM pada tahun 1999.  Akhirnya terbongkarlah kalau saya angkatan '99 untuk SMA dan 2004 untuk sarjana. Sejak saat itu resmilah predikat "Nyak" disandang karena teman2 tersebut menjadikan saya sebagai sesepuh. Tapi saya bahagia, karena saya juga secara tidak langsung menganggap mereka sebagai adik tak jarang sebagai anak 😂😂😂.

Hmm.. jauhnya  rentang pendidikan S1 dengan pendidikan pasca saya ini yaitu sekitar 10 tahun, ternyata berdampak kepada banyak ilmu dan teknologi baru yang belum saya pelajari. Mulai dari program SAP 2000 (tau sendiri dari nama programnya ajah tahun 2000 saya produk 90-an) AutoCAD, ArchiCAD, SketchUP dan sebagainya.  Matakuliahnya pun Ajaib... benar-benar menguras otak. Termasuk tugas-tugasnya. 😢😢.

Awalnya saya sempat down dan tidak percaya diri namun saya srgera bertekad harus belajar biar bisa biar tau. Dan Alhamdulillah saya kini sangat menikmatinya. Apalagi ilmu2 tersebut inshaAllah akan sangat berguna dan dapat diterapkan dalam pekerjaan saya kelak. Walau dengan susah payah namun seperti halnya pepatah air dapat melubangi batu jika mengalir terus menerus, pisau yang tumpul bisa menjadi tajam jika diasah terus menerus, begitu pula dengan otak kita. Lama kelamaan ilmu tersebut akan diadopsinya menjadi filamen2 dan dianggap sebagai bagian dari otak itu sendiri. 😂😂.

Walaupun akhirnya cerita saya melenceng dari judul diatas, namun yang pasti saya ingin mengatakan bahwa menimba ilmu itu jangan sampai terhalang usia, menimba ilmu harus kita lakukan selama hidup kita. Bukankah kejadian sehari-hari dan pengalaman dalam hidup juga merupakan ilmu bagi diri kita untuk dapat lebih baik lagi di masa depan?.  Banyak yang sudah tua tapi tidak malu untuk masuk kuliah lagi. Ikut paket C lagi. Dan sebagainya. Itu karena orang2 tersebut sadar akan perlunya pendidikan dalam hidup mereka. So, mengapa tidak bagi yang masih berusia muda, ayo manfaatkan hidupmu dengan belajar dan menimba ilmu karena kelak akan berguna dalam hidupmu seterusnya. Masa kalah sama yang Tua? Ya nggak?

*buah pemikiran dan tulisan yang tercipta di waktu luang diJogja 141115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar