Total Tayangan Halaman

Selasa, 07 Juli 2020

CERBER

PNS (part 1)


“ Kalau tidak ada uang percuma Burhan”   suara bisik Arif ditelinga.
“Betul sekali apa yang dikatakan Arif  itu sobat. Percuma kalau  kau hanya mengandalkan otak saja. Sekarang ini kalau  kau tidak punya modal, kau  tidak bisa lulus test PNS”  tambah Fajar menjelaskan.
Aku terdiam terpekur mendengarkan.  Terbayang wajah  ibu yang sudah tua dengan  mata penuh pengharapan ketika melepasku untuk mengikuti try out uji test PNS hari ini. Mata yang penuh dengan doa agar kelak aku bisa lebih dari almarhum ayah yang hanya seorang guru honorer. Menjadi seorang abdi Negara. Seorang Pegawai Negeri Sipil. Tapi sesungguhnya yang lebih mendasari keinginan Ibu adalah agar aku anaknya tidak  sengsara dikemudian hari.  Agar setiap bulannya dapur tetap dapat mengepul.  Agar ke empat adik-adikku  tetap dapat sekolah.  Agar kelak  ibu bersama calon  istri dan anakku bisa hidup dalam kesejahteraan yang layak. Tidak hidup menderita seperti sekarang.
Memang  sejak Ayah meninggal ketika aku masih SMP,  ibu bekerja membanting tulang demi menyekolahkan kami kelima anaknya. Berjualan kelontong seadanya dengan modal dari uang tabungan  gaji honorer ayah yang tidak seberapa. Tapi dalam diam dan tegarnya , ibu tidak pernah mengeluh dan menampakkan kesedihan didepan kami. Hanya akulah yang sering melihat ibu menangis diam-diam ketika malam menyapa, ketika ia mengadu kepada Rabb-nya di sepertiga malam. Tidak, ibu tidak pernah sengaja memperlihatkan tangisannya padaku saat itu. Akulah yang lancang memergokinya. Ya , aku anak tertua.  Sumber pengharapan keluarga.
Ah…. Sungguh awalnya tidak kurasakan sebagai beban.  Aku bersemangat untuk memenuhi harapan tersebut. Bahkan dalam anganku sudah terbayang aku yang berpakaian seragam keki. Seragam kebesaran PNS. Aku yakin dengan kemampuan otakku, bisa lulus PNS tahun ini. Apalagi selama ini aku tergolong bintang kelas. Nilai ijazah SMA ku bahkan yang tertinggi se-Kabupaten. Aku benar-benar percaya diri hingga Arif dan Fajar menyadarkanku dengan realita. Ucapan mereka seperti menarik kakiku untuk kembali menginjak bumi. Membenamkan kepalaku dalam air agar dapat berpikir jernih.
“Sudahlah Burhan.. kami tahu kalau kau itu pintar, berotak cemerlang. Tapi itu semua tidak cukup kawan. Kau tahu? Orangtuaku  telah  menyiapkan uang sekitar 50 Juta agar aku bisa jadi PNS. Si Fajar ini malah sudah siap 55 juta.betul tidak Jar?”   Arif kembali berbicara. Fajar hanya tersenyum malu. Ingin mengaku tapi juga gengsi. Jadi diambilnya sikap seolah tidak peduli. Aku terperangah..
“ Tapi, aku tidak punya uang sebanyak itu kawan…kau tahu lah sendiri bagaimna kondisi dirumah. Pendidikanku pun hanya lulusan SMA”
“Justru itu…..justru karena kau Cuma lulusan SMA. Banyak yang mengincar posisi ini kawan. Jutaan orang… bayangkan jutaan orang berebut 20 kursi jatah lulusan SMA. lalu kau cuma mengandalkan otak saja? Hahahahahaha… jangan mimpi kawan. Mungkin terdengar jahat, tapi aku cuma memberitahukan fakta, realita ini kepadamu karna kau kawanku”  
Arif kembali melanjutkan bersemangat. Fajar hanya menganggukkan kepala sembari tangan kanannya mengacungkan jempol tanda setuju.
“Eh kau tahu tidak  si Yanti kawan kita yang lulus PNS tahun kemarin? Dia mengaku bermain 45 juta biar lulus. Terus si Andi yang lulus jadi Polisi , kau pikir dia lulus begitu saja karna pintarnya? Hohoho tidak kawan…dia juga bermain.  Entah berapa tapi ia membenarkan kalau  telah  menyetor sejumlah uang  kepada panitianya. Lah terus kita? Ini kesempatan kedua kita. Kalau kita tidak ambil kesempatan ini, bisa lenyaplah karena tahun depan pasti bertambah banyak saingan. Belum lagi usia dan pendidikan kita yang hanya berijazah SMA. sebentar lagi expired kawan. Pekerjaan  swasta saja ogah  menerima kita.  Saat inilah kita harus berjuang demi masa depan kita. Memangnya kau tidak pernah berpikir kenapa kita tidak lulus tahun kemarin? itu bukan karena kita tidak mampu menjawab kawan. Kau tahu sendiri soalnya mudah. Bukan karena itu.  Tapi karena kita tidak membayar. Kita tidak memberikan persenan kepada panitianya. Ahh…kita memang terlalu polos, terlalu naif… “
Arif masih saja berceramah tanpa henti. Tidak menyadari kupingku yang mulai terasa panas. Bebal.
Aku terdiam merenung. Berpikir. Oh Tuhan…. Lalu bagaimana ini? Haruskah aku  ikut permainan  kotor ini? Sanggupkah aku  melihat lagi wajah kecewa ibu yang disembunyikan ketika tahun kemarin tidak lulus PNS? Bisakah aku membantu  ibu untuk membiayai sekolah keempat adikku yang saat ini entah karena apa biayanya tiba-tiba  menjadi selangit?. Aku memijit keningku yang  tiba-tiba merasa sakit. Tak terasa kedua tangan pun  ikut menjambak rambut untuk melegakan rasa pusing yang  tiba-tiba mendera. Mataku tiba-tiba terasa panas. Tapi  kutahan agar airmataku  tidak jatuh. Aku lelaki. Dan lelaki tidak  boleh menangis. Hhhh… mengapa  menghela  napas  ini pun tiba-tiba  terasa begitu berat?.  
Pembicaraan  kami pun berhenti karena panitia try out memasuki ruangan dan segera menerangkan peraturan-peraturan dan tatacara mengisi lembar  jawaban. Tapi  suara itu entah mengapa terasa sangat jauh. Tak dapat ku cerna dengan otakku. Harapan yang  tadi membuncah dalam dada tiba-tiba lenyap berganti beban  berat. Seperti ada batu yang mengganjal hatiku. Ya.. seperti itu rasanya.  Akhirnya   kucoba mengisi soal sebisa kemampuan untuk meredakan galau didada. Sungguh…  aku sudah tak mampu lagi berkonsentrasi.
                                       ******
“Jadi  bagaimana pak Hendra? Apakah  saya bisa mendapatkan pinjaman uang sebesar  Rp55 Juta itu?”
Laki-laki yang dipanggil pak Hendra itu tersenyum licik. Matanya memandang sosok didepannya dengan senang seperti seorang pemburu yang telah mendapatkan hasil buruannya. Diambilnya sebatang rokok kretek dan dihirup dengan nikmat. Masih asyik menatapi sosok didepannya dari ujung kaki hingga kepala. Sosok yang terlihat sangat berputus asa di raut wajahnya namun penuh harap di matanya. Pak Hendra kembali tersenyum sambil memperlihatkan gigi yang telah menguning akibat nikotin.
” Hm…itu bukan jumlah yang sedikit Burhan. Kau tahu?  Aku bukan ladang amal. Ini usaha.Memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan. Tapi ingat ! tidak percuma. Bagaimana?”
“Tidak mengapa pak Hendra. Apapun syaratnya saya akan penuhi. Asalkan uang itu bisa saya dapatkan hari  ini. Saya butuh sekali pak Hendra” aku kembali membujuk.
 Aku sudah tidak tahu harus kemana lagi untuk meminjam, walaupun kutahu bahwa pak Hendra adalah rentenir di kampungku. Tapi setidaknya aku harus berusaha mendapatkan pinjaman. Aku yakin jikalau aku lulus PNS, aku pasti bisa membayar hutang-hutangku kepada pak Hendra beserta bunganya. Aku  tidak ingin gagal lagi tahun ini. Itu tekadku.
“Oke… baiklah jika kau memaksa. Peraturan buat orang yang meminjam kepadaku adalah aku memberikan bunga sebesar 10% perbulan dari pinjaman tersebut. Kalau kau tidak dapat membayar pokoknya, cukup kau bayar saja dulu bunganya perbulan. Tapi jika kau tidak bisa membayar bunga pada bulan itu, kau akan kudenda sebesar 2% perhari dari jumlah bunga yang terlambat kau bayar. Bagaimana? Apakah kau sanggup?”
Pak Hendra kembali tersenyum lebar melihatku layaknya seekor mangsa yang empuk. Aku terkejut mendengar penjelasannya dan pak Hendra pasti bisa membacanya pada raut mukaku. Kebimbangan tiba-tiba datang,  terlebih tindakanku ini tanpa sepengetahuan ibu. Tapi aku sudah tak punya jalan lain. Aku harus dapat uang itu hari ini, agar aku bisa lulus PNS seperti kata Arif dan Fajar dua hari lalu. Hhh…Selama dua hari pula aku tidak bisa tidur nyeyak memikirkan cara untuk mendapatkan uang sebesar Rp55 Juta. Yah..Hanya ini jalan satu-satunya, pikirku.  
“ Baik pak, saya sanggup. Kalau  saya berhasil dapat keinginan saya ini yaitu lulus PNS, saya akan segera membayar kepada bapak beserta bunganya”
“Hmm… baiklah kalau kau yakin bisa. Aku akan segera menyuruh si ucil untuk membuatkan surat perjanjian pinjamannya. Ingat! Jika kau tidakberhasil membayarnya maka ibu dan adikmu juga harus ikut menanggung hutangmu. Rumah yang selama ini kalian tempati akan menjadi milikku. Camkan itu sebelum kau menandatangani surat perjanjian ini “
aku diam saja mengangguk pelan, pasrah, tidak bersuara. Dan dengan segera pak Hendra memanggil pak ucil untuk membuatkan surat perjanjian. Segera setelah ditandatangani, aku mendapatkan uang yang kuinginkan dalam amplop coklat. Tanpa sadar bibirku tersenyum demi melihat uang itu. Pakaian kheki yang selama ini ku idam-idamkan tiba-tiba menari jelas dipelupuk mata. Tak perlu menunggu lama aku segera berlari keluar. Sayup-sayup dibelakangku masih terdengar suara tertawa pak Hendra karena senang. Namun aku sudah tidak peduli.

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar