PNS (part 1)
“ Kalau tidak ada uang
percuma Burhan” suara bisik Arif ditelinga.
“Betul sekali apa yang
dikatakan Arif itu sobat. Percuma kalau kau hanya mengandalkan otak saja. Sekarang ini
kalau kau tidak punya modal, kau tidak bisa lulus test PNS” tambah Fajar menjelaskan.
Aku terdiam terpekur
mendengarkan. Terbayang wajah ibu yang sudah tua dengan mata penuh pengharapan ketika melepasku untuk
mengikuti try out uji test PNS hari ini. Mata yang penuh dengan doa agar kelak
aku bisa lebih dari almarhum ayah yang hanya seorang guru honorer. Menjadi
seorang abdi Negara. Seorang Pegawai Negeri Sipil. Tapi sesungguhnya yang lebih
mendasari keinginan Ibu adalah agar aku anaknya tidak sengsara dikemudian hari. Agar setiap bulannya dapur tetap dapat
mengepul. Agar ke empat adik-adikku tetap dapat sekolah. Agar kelak ibu bersama calon istri dan anakku bisa hidup dalam
kesejahteraan yang layak. Tidak hidup menderita seperti sekarang.
Memang sejak Ayah meninggal ketika aku masih SMP, ibu bekerja membanting tulang demi
menyekolahkan kami kelima anaknya. Berjualan kelontong seadanya dengan modal
dari uang tabungan gaji honorer ayah
yang tidak seberapa. Tapi dalam diam dan tegarnya , ibu tidak pernah mengeluh
dan menampakkan kesedihan didepan kami. Hanya akulah yang sering melihat ibu
menangis diam-diam ketika malam menyapa, ketika ia mengadu kepada Rabb-nya di
sepertiga malam. Tidak, ibu tidak pernah sengaja memperlihatkan tangisannya
padaku saat itu. Akulah yang lancang memergokinya. Ya , aku anak tertua. Sumber pengharapan keluarga.
Ah…. Sungguh awalnya tidak kurasakan
sebagai beban. Aku bersemangat untuk
memenuhi harapan tersebut. Bahkan dalam anganku sudah terbayang aku yang
berpakaian seragam keki. Seragam kebesaran PNS. Aku yakin dengan kemampuan
otakku, bisa lulus PNS tahun ini. Apalagi selama ini aku tergolong bintang
kelas. Nilai ijazah SMA ku bahkan yang tertinggi se-Kabupaten. Aku benar-benar
percaya diri hingga Arif dan Fajar menyadarkanku dengan realita. Ucapan mereka
seperti menarik kakiku untuk kembali menginjak bumi. Membenamkan kepalaku dalam
air agar dapat berpikir jernih.
“Sudahlah Burhan.. kami tahu kalau kau itu
pintar, berotak cemerlang. Tapi itu semua tidak cukup kawan. Kau tahu?
Orangtuaku telah menyiapkan uang sekitar 50 Juta agar aku bisa
jadi PNS. Si Fajar ini malah sudah siap 55 juta.betul tidak Jar?” Arif
kembali berbicara. Fajar hanya tersenyum malu. Ingin mengaku tapi juga gengsi.
Jadi diambilnya sikap seolah tidak peduli. Aku terperangah..
“ Tapi, aku tidak punya uang sebanyak itu
kawan…kau tahu lah sendiri bagaimna kondisi dirumah. Pendidikanku pun hanya
lulusan SMA”
“Justru itu…..justru karena kau Cuma
lulusan SMA. Banyak yang mengincar posisi ini kawan. Jutaan orang… bayangkan
jutaan orang berebut 20 kursi jatah lulusan SMA. lalu kau cuma mengandalkan
otak saja? Hahahahahaha… jangan mimpi kawan. Mungkin terdengar jahat, tapi aku
cuma memberitahukan fakta, realita ini kepadamu karna kau kawanku”
Arif
kembali melanjutkan bersemangat. Fajar hanya menganggukkan kepala sembari
tangan kanannya mengacungkan jempol tanda setuju.
“Eh kau tahu tidak si Yanti kawan kita yang lulus PNS tahun
kemarin? Dia mengaku bermain 45 juta biar lulus. Terus si Andi yang lulus jadi
Polisi , kau pikir dia lulus begitu saja karna pintarnya? Hohoho tidak
kawan…dia juga bermain. Entah berapa
tapi ia membenarkan kalau telah menyetor sejumlah uang kepada panitianya. Lah terus kita? Ini
kesempatan kedua kita. Kalau kita tidak ambil kesempatan ini, bisa lenyaplah
karena tahun depan pasti bertambah banyak saingan. Belum lagi usia dan
pendidikan kita yang hanya berijazah SMA. sebentar lagi expired kawan. Pekerjaan swasta
saja ogah menerima kita. Saat inilah kita harus berjuang demi masa
depan kita. Memangnya kau tidak pernah berpikir kenapa kita tidak lulus tahun
kemarin? itu bukan karena kita tidak mampu menjawab kawan. Kau tahu sendiri
soalnya mudah. Bukan karena itu. Tapi karena
kita tidak membayar. Kita tidak memberikan persenan kepada panitianya. Ahh…kita
memang terlalu polos, terlalu naif… “
Arif masih saja berceramah tanpa henti.
Tidak menyadari kupingku yang mulai terasa panas. Bebal.
Aku terdiam merenung.
Berpikir. Oh Tuhan…. Lalu bagaimana ini? Haruskah aku ikut permainan kotor ini? Sanggupkah aku melihat lagi wajah kecewa ibu yang
disembunyikan ketika tahun kemarin tidak lulus PNS? Bisakah aku membantu ibu untuk membiayai sekolah keempat adikku
yang saat ini entah karena apa biayanya tiba-tiba menjadi selangit?. Aku memijit keningku yang tiba-tiba merasa sakit. Tak terasa kedua
tangan pun ikut menjambak rambut untuk
melegakan rasa pusing yang tiba-tiba mendera.
Mataku tiba-tiba terasa panas. Tapi kutahan
agar airmataku tidak jatuh. Aku lelaki.
Dan lelaki tidak boleh menangis. Hhhh…
mengapa menghela napas ini
pun tiba-tiba terasa begitu berat?.
Pembicaraan kami pun berhenti karena panitia try out
memasuki ruangan dan segera menerangkan peraturan-peraturan dan tatacara
mengisi lembar jawaban. Tapi suara itu entah mengapa terasa sangat jauh.
Tak dapat ku cerna dengan otakku. Harapan yang tadi membuncah dalam dada tiba-tiba lenyap
berganti beban berat. Seperti ada batu
yang mengganjal hatiku. Ya.. seperti itu rasanya. Akhirnya
kucoba mengisi soal sebisa kemampuan untuk meredakan galau didada. Sungguh… aku sudah tak mampu lagi berkonsentrasi.
******
“Jadi bagaimana pak Hendra? Apakah saya bisa mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp55 Juta itu?”
Laki-laki yang dipanggil pak Hendra itu
tersenyum licik. Matanya memandang sosok didepannya dengan senang seperti
seorang pemburu yang telah mendapatkan hasil buruannya. Diambilnya sebatang
rokok kretek dan dihirup dengan nikmat. Masih asyik menatapi sosok didepannya
dari ujung kaki hingga kepala. Sosok yang terlihat sangat berputus asa di raut
wajahnya namun penuh harap di matanya. Pak Hendra kembali tersenyum sambil
memperlihatkan gigi yang telah menguning akibat nikotin.
” Hm…itu bukan jumlah yang sedikit Burhan.
Kau tahu? Aku bukan ladang amal. Ini usaha.Memberikan
pinjaman kepada yang membutuhkan. Tapi ingat ! tidak percuma. Bagaimana?”
“Tidak mengapa pak Hendra. Apapun
syaratnya saya akan penuhi. Asalkan uang itu bisa saya dapatkan hari ini. Saya butuh sekali pak Hendra” aku kembali
membujuk.
Aku
sudah tidak tahu harus kemana lagi untuk meminjam, walaupun kutahu bahwa pak
Hendra adalah rentenir di kampungku. Tapi setidaknya aku harus berusaha
mendapatkan pinjaman. Aku yakin jikalau aku lulus PNS, aku pasti bisa membayar
hutang-hutangku kepada pak Hendra beserta bunganya. Aku tidak ingin gagal lagi tahun ini. Itu tekadku.
“Oke… baiklah jika kau memaksa. Peraturan
buat orang yang meminjam kepadaku adalah aku memberikan bunga sebesar 10%
perbulan dari pinjaman tersebut. Kalau kau tidak dapat membayar pokoknya, cukup
kau bayar saja dulu bunganya perbulan. Tapi jika kau tidak bisa membayar bunga
pada bulan itu, kau akan kudenda sebesar 2% perhari dari jumlah bunga yang
terlambat kau bayar. Bagaimana? Apakah kau sanggup?”
Pak Hendra kembali tersenyum lebar melihatku
layaknya seekor mangsa yang empuk. Aku terkejut mendengar penjelasannya dan pak
Hendra pasti bisa membacanya pada raut mukaku. Kebimbangan tiba-tiba
datang, terlebih tindakanku ini tanpa
sepengetahuan ibu. Tapi aku sudah tak punya jalan lain. Aku harus dapat uang
itu hari ini, agar aku bisa lulus PNS seperti kata Arif dan Fajar dua hari
lalu. Hhh…Selama dua hari pula aku tidak bisa tidur nyeyak memikirkan cara
untuk mendapatkan uang sebesar Rp55 Juta. Yah..Hanya ini jalan satu-satunya,
pikirku.
“ Baik pak, saya sanggup. Kalau saya berhasil dapat keinginan saya ini yaitu
lulus PNS, saya akan segera membayar kepada bapak beserta bunganya”
“Hmm… baiklah kalau kau yakin bisa. Aku
akan segera menyuruh si ucil untuk membuatkan surat perjanjian pinjamannya. Ingat!
Jika kau tidakberhasil membayarnya maka ibu dan adikmu juga harus ikut
menanggung hutangmu. Rumah yang selama ini kalian tempati akan menjadi milikku.
Camkan itu sebelum kau menandatangani surat perjanjian ini “
aku diam saja mengangguk pelan, pasrah,
tidak bersuara. Dan dengan segera pak Hendra memanggil pak ucil untuk
membuatkan surat perjanjian. Segera setelah ditandatangani, aku mendapatkan
uang yang kuinginkan dalam amplop coklat. Tanpa sadar bibirku tersenyum demi
melihat uang itu. Pakaian kheki yang selama ini ku idam-idamkan tiba-tiba
menari jelas dipelupuk mata. Tak perlu menunggu lama aku segera berlari keluar.
Sayup-sayup dibelakangku masih terdengar suara tertawa pak Hendra karena senang.
Namun aku sudah tidak peduli.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar