PNS (Part 2)
“Bagaimana
kawan, ujian tadi ? bisa kau jawab semua? “ Fajar bertanya
“Yah…semua
soal tadi ku jawab. Semoga bisa lulus” jawabku tersenyum
“
Kalau aku, tadi kukosongkan lembar jawabannya tapi nama tetap ditulis “ timpal Arif.
“Hah?
Mengapa?” tanyaku terkejut
“Saran Pak Wisnu sipanitia yang mengurus
kelulusanku, katanya cukup dikosongkan saja. Nanti biar panitia yang menjawab
sebelum dimasukkan ke komputer pemindai. Lagipula orangtuaku sudah memberi
mereka uang sebagai kompensasinya “ terang Arif sambil tersenyum.
“Aku juga tadi begitu” jawab Fajar. Aku
hanya bisa terdiam
“Loh, kau tidak jadi memberikan uang ke
pak Wisnu ya Burhan? Kan sudah kuberitahu
dua hari yang lalu. Masa kau tidak diberitahu oleh beliau hal itu?” timpal Arif
lagi
“Aku memberikannya bukan ke pak Wisnu Arif,
aku berikan ke temannya, ke pak Sutomo” jawabku pelan
“Astaga…. Kenapa tidak kau berikan kepada
pak Wisnu langsung saja? Memangnya kau tahu dari mana kalau pak Sutomo itu
temannya pak Wisnu? Bisa jadi uangmu tidak sampai kawan… kalau begitu caranya,
pak Wisnu pasti tidak mau bertanggung jawab seandainya kamu tidak lulus. Sebab
uangnya tidak kau berikan ke dia”
Spontan tanganku mengusap keringat di
kening yang tiba-tiba muncul. Kecemasan dan keraguan mulai timbul.
“
Ah.. tidak kawan. Semoga tidak begitu. Dan jangan sampai begitu. Sebab uang itu
kuperoleh dari pinjaman di pak Hendra. Bisa mati aku kalau aku ditipu”
“APA?!
Kau berani meminjam pada rentenir itu? Hei kawan tidakkah kau tahu banyak sudah
yang jadi miskin gara-gara berhutang sama pak Hendra. Mengapa kau bernyali
sekali pinjam kesana? Mengapa tidak kau coba pinjam ke Bank kah atau ke mana”
ujar Fajar terkejut.
“Aku
sudah tidak tahu lagi kawan hendak kemana. Pinjam ke Bank itu tidak mungkin.
Kami tidak punya jaminan . Untuk kau tahu rumah yang kami tinggali ini adalah
rumah saudara ibu yang kasihan melihat kami terlunta-lunta semenjak ayahku
meninggal. Aku sudah berusaha bertanya pada kawan-kawan kita yang telah sukses.
Tapi mereka tidak mau meminjamkannya dengan alasan takut tidak dapat aku
kembalikan. Uang jumlah segitu bukanlah sedikit. Aku takut meminta kepada
ibuku. Kalian tahu sendiri kondisi kehidupan kami seperti apa. Aku meminjam ini
pun tanpa sepengetahuan ibuku, karena aku tidak ingin membuat beliau cemas”
ceritaku mencoba membela diri.
“
Lalu kau meminjam uang dari pak Hendra dengan jaminan apa? Pak Hendra adalah
tipe orang yang tidak mau memberikan uang kalau tidak ada jaminan.. apa yang
kau janjikan hah?” timpal Arif
Aku terdiam menunduk sambil kakiku tak mau
diam, menendang-nendang kecil tanah didepan hingga menjadi gundukan..
“aku menjaminkan rumah
bibiku yang kami tinggali sekarang dengan perjanjian surat yang kutulis tangan.
Pak Hendra tidak tau kalau rumah itu bukan milik kami. Aku berbohong padanya”
jawabku lirih
“
APAA!!!! Oh Tuhaaaannnnn….. otak mu sudah mulai rusak rupanya.. astagaaaaa… kau
mau seret keluargamu dalam siksaan pak Hendra… aduhhhhhhhh kenapa kau tidak
berpikiran panjang Burhaaannnnn” teriak Fajar
tak menyangka atas kelancanganku
“
KALIAN lah yang sudah merusakku… kalian yang menyuruh aku untuk ikut menyogok
panita agar LULUS. Gara-gara kalian yang meracuniku sehingga aku mau tidak mau
mencari jalan walaupun kutau itu salah “ Teriakku emosi. Aku marah..aku marah
pada Fajar, aku marah pada Arif, aku marah pada panitia, aku marah pada pak
Hendra dan lebih sakit lagi aku marah pada diriku sendiri karena tau semua itu
benar. Arif tiba-tiba memeluk menenangkan aku.. sebab dilihatnya tanganku telah
terkepal dan apabila tak dicegah maka aku akan mengamuk memukul siapapun yang
ada didekatku.
“ Yah sudahlah, sudah terlanjur.
Sekarang kau tinggal berdoa saja semoga yang namanya pak Sutomo itu tidak
menipumu. Toh pengumumannya dua minggu lagi. Banyak berdoa sajalah kawan” ujar
Arif mencoba bijak. Tapi semua perkataannya tidak bisa kuresapi dengan baik
karena tiba-tiba aku takut kalau yang menjadi sangkaan mereka akan benar
terjadi. Aku harus bagaimana? Kucoba mengendalikan emosiku yang tadi telah
memuncak. Berbagai pikiran buruk tiba-tiba muncul dalam benakku…Ah… kucoba
menepis pikiran buruk itu dan menyelipkan doa di dalam hati sambil melangkah
gontai menuju rumah, meninggalkan Arif dan Fajar yang masih termangu entah
berpikir apa.
******
Aku berlari menuju papan pengumuman
sambil berdoa semoga namaku tertera disana. Sengaja Fajar dan Arif tidak ku ajak serta, karena tidak ingin
mendengarkan ceramah atau komentar apapun dari mereka berdua. Aku hanya ingin
sendiri.
Kutelusuri rangkaian daftar nama yang lulus PNS tahun ini dengan telunjuk. Jantungku
mulai berdegup kencang karena namaku tidak kutemukan. Hei…kutemukan nama Arif
dan Fajar. Rupanya mereka lulus. Hhhh…
kutarik napas panjang lalu memutuskan mencoba mencari sekali lagi. Khawatir mungkin
namaku tadi terlewat. Tapi setelah dua kali , tiga kali hingga empat kali
kucari namaku tetap tidak nampak.
Oh Tuhan,
kakiku tiba-tiba lemas dan tidak punya kekuatan untuk menopang berat
tubuhku. Suara teriakan dari peserta yang lulus dan suara tangisan dari yang
bernasib sama sepertiku, sudah tidak bisa ku bedakan. Semuanya sama ditelingaku
yang tiba-tiba tuli. Keringat dingin makin bermunculan dikeningku, di telapak
tanganku bahkan hingga dikaki.
Mataku panas, dan tak terasa sebutir
mengalir turun dan kemudian diikuti butir-butir lainnya. Dadaku sesak, aku
tidak bisa bernapas. Oh Tuhannnn, aku tersadar kalau aku telah ditiipu. Benar
perkataan Arif waktu itu. Aku mengutuk diriku sendiri mengapa begitu bodohnya mempercayai dan memberikan uang kepada pak
Sutomo hanya karena bapak itu sedang berada di rumah pak Wisnu. Aku mengira
beliau memang temannya sesama panitia.
aduh biyuuuunggggg… kemana aku harus mencari bapak itu? Pikiranku penuh sesak dengan penyesalan, hutang, nasib ibu dan adikku serta bercampur pikiran lainnya. Lalu
tiba-tiba saja pandanganku menjadi gelap. Dan selanjutnya aku sudah tidak sadar
lagi.
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar